January 1, 2012

Kisah Kasih di Malam Natal

   No comments     
categories: 
Waktu tepat menunjukkan pukul 12.00 tanggal 24 Desember 2011. Hari ini adalah malam natal, di mana hampir semua orang sedang menikmati liburan mereka. Ya, hampir semua orang berarti ada yang tidak, seperti saya contohnya. Saya baru saja selesai menyelesaikan laporan akhir tahun untuk projek perusahaan di dalam kereta dari Paris menuju Venice. Makanan di atas meja saya sudah habis saya makan dan petugas kereta mulai berkeliling untuk mengumpulkan bekas makanan. Pekerjaan akhir tahun yang menumpuk dan dikejar deadline membuat saya cukup kelaparan. Habis sudah seporsi spaghetti, salad dan dessert saya lahap.
Sebut saja nama saya Natalia. Kedua orang tua saya memberi nama itu karena saya lahir bertepatan dengan hari Natal. Di situlah sukacita keluarga saya bertambah 30 tahun yang lalu, sampai 5 tahun kemudian orang tua saya bercerai. Sejak kecil saya hanya diasuh oleh nenek yang sudah meninggal tahun lalu. Ayah saya menikah lagi dan sekarang memiliki 2 orang putri. Sedangkan ibu saya menghilang entah ke mana. Terakhir saya dengar dia
tinggal di Amerika dengan adik laki-laki saya.
Saya beruntung terlahir sebagai anak yang cerdas. Nenek saya hanya membiayai sekolah saya sampai jenjang SMP dari hasil simpanannya. Selanjutnya dari SMA hingga kuliah saya mendapat beasiswa di Jerman, dan sekarang saya bekerja di Paris, bidang telekomunikasi. Liburan akhir tahun ini saya sengaja memilih berlibur ke Venice. Tempat yang indah dan romantis untuk rileks, meskipun dalam perjalanan pun saya masih bekerja.
Lingkungan keluarga yang tidak sempurna dan tantangan hidup yang saya alami semasa kecil membuat saya tumbuh menjadi wanita pendiam dan tidak banyak bergaul. Rekan kerja dan orang-orang sekitar saya menjuluki saya sebagai wanita dingin karena jarang tersenyum. Ahh… perjalanan menuju Venice masih 5 jam lagi, namun saya tidak bisa memejamkan mata untuk tidur. Tetesan air hujan di jendela dan juga embun membuat udara semakin dingin sehingga saya terpaksa mengeluarkan selimut ekstra untuk menghangatkan diri.
Sembari menatap hujan di luar pikiran, pikiran saya melayang ke masa lalu. Masa di mana pertama kali saya jatuh cinta dengan pria yang berasal dari New Zealand. Kami pacaran selama 3 tahun sampai akhirnya saya dapati dia berselingkuh dengan sahabat saya. Kejadian 2 tahun lalu itu masih membayangi saya hingga sekarang. Rasanya sulit memaafkan mereka yang telah mengkhianati saya. Saya masih belum bisa percaya bahwa saya kehilangan 2 orang yang saya sayangi sekaligus, pacar dan sahabat. Belum lagi ayah saya yang selalu sok mengatur hidup saya padahal tak pernah sedikit pun dia peduli. Setiap kali saya menelepon, ia selalu menanyakan hal yang sama. Kapan menikah, kapan mau tinggal dengan ayah, bla bla bla. Hidup saya terlalu rumit untuk dikenang, tapi itu belum semua. Untuk menambah kerumitan saya, beberapa hari yang lalu dokter memvonis saya dengan penyakit alzheimer. Ah.. saya sudah pasrah dengan semuanya dan tidak peduli lagi.
Tak lama kereta berhenti dan saya pun turun. Tapi tunggu… ini bukan kota Paris. Ini daerah pedesaan yang tak saya kenal. Lingkungannya cukup kumuh, banyak anak-anak jalanan berlari kesana kemari, pedagang buah, pasar dan rumah penduduk. Waktu menunjukkan pukul 7 pagi dan perut saya mulai lapar. Segera saja saya mencari cafe untuk sarapan. Sembari menghirup cappuccino dan croissant, saya diam memperhatikan penduduk kota itu. Mereka bukanlah orang kaya, sebagian besar hanya bekerja sebagai petani, pedagang, dan nelayan. Mungkin juga ada beberapa guru sekolah dasar. Setelah 1 jam duduk memperhatikan mereka, entah mengapa saya mulai merasa nyaman. Dalam keterbatasan hidup penduduk di sana, kebahagiaan masih terpancar di wajah mereka. Orang berlalu-lalang membeli hadiah dan belanja untuk keperluan di hari Natal. Untuk sejenak saya melupakan kerumitan hidup saya dan saya mulai berpikir untuk melakukan sesuatu yang berbeda tahun ini, karena sebelumnya hidup saya terasa kosong dan berarti, meskipun bisa dibilang saya hidup berkecukupan dan kaya.
Saya keluar dari cafe dan berjalan melewati pasar, singgah sebentar di pedagang kue. Saya tersenyum ke penjual itu dan mengobrol sejenak. Tak lama setelah menerima telepon, ia terlihat panik dan mengatakan bahwa anaknya tiba-tiba pingsan di rumah dan menyuruh saya untuk menggantikannya di toko untuk sementara. Tanpa sempat membalasnya, ia sudah menghilang dan terpaksalah saya menjaga toko itu. Pelanggan yang datang semuanya sangat ramah terhadap saya. Mereka berkenalan dan mengajak saya ngobrol. Bahkan ada yang mengundang saya untuk makan malam di rumahnya nanti.
Ketika malam tiba akhirnya saya memutuskan untuk menerima undangan makan malam itu. Toh saya pun belum ada tempat untuk menginap dan tidak familiar dengan wilayah di sini. Saya berjalan kaki mengikuti pentunjuk yang diberikan oleh pelanggan tadi karena jaraknya tidak terlalu jauh. Jalanan yang saya lalui kecil, sempit namun dipenuhi oleh rumah penduduk yang tersusun rapih. Sesekali saya melewati beberapa rumah, tak sengaja mengintip lewat jendela sejumlah keluarga yang tengah menikmati makan malam bersama di malam natal. Semuanya tampak gembira. Tiba-tiba saja saya merasa sedih karena tak pernah mengalami hal tersebut.
Di tengah perjalanan juga saya terpikir untuk membeli kue untuk si tuan rumah, karena merasa tidak pantas kalau hanya datang dengan tangan kosong. Akhirnya sampai juga saya di rumah si pelanggan. Saya cukup terkejut karena ternyata ada sekitar 20 orang di rumah yang sempit itu. Mereka dengan gembira menyambut saya dengan sukacita. Ternyata sedang ada perayaan di rumah itu. Anak mereka yang berumur 3 tahun sedang berulang tahun. Anak itu autis dan sangat hiperaktif. Keluarganya senang dengan kue yang saya bawa karena dianggap sebagai kue ulang tahun. Beberapa saat kemudian baru saya sadari bahwa mereka keluarga miskin yang tak mampu membeli kue ulang tahun untuk anaknya. Makanan yang disajikan pun sangat sederhana. Sup, salad, roti, pizza keju dan spaghetti mayonaise. Jangankan kalkun, sepotong daging pun tidak ada di meja. Namun yang membuat saya tersentuh adalah keceriaan mereka semua dan kehangatan keluarga yang tercipta. Mereka menari, menyanyi dan mengajak saya ikut berdansa.
Setelah pesta usai, mereka memberikan saya tumpangan di kamar atas yang sempit dan hanya cukup untuk tidur. Setelah berberes-beres, saya berbaring di ranjang sambil mencoba untuk memejamkan mata. Ada sesuatu yang mengganggu pikiran saya, yaitu hubungan saya dengan teman dan keluarga saya yang sudah lama terputus. Kehangatan kota kecil ini membuat saya merindukan mereka semua. Tanpa berpikir panjang saya ambil handphone dan menekan nomor untuk membuat long-distance call. Mantan pacar saya mengangkat telepon. Saya katakan kepada dia bahwa saya sudah memaafkannya dan istrinya (sahabat saya). Mereka sekarang sudah menikah dan hidup bahagia dengan sepasang anak kembar. Setelah itu saya telepon ayah saya dan memberitahunya bahwa saya akan datang mengunjunginya akhir bulan depan. Tak lupa juga saya menelepon ibu saya. Kami memang tak pernah berhubungan sejak mereka menghilang, namun saya masih menyimpan nomornya yang diberikan oleh nenek saya sebelum ia meninggal. Ibu saya terkejut, tak menyangka menerima telepon dari saya. Ia sehat, hanya terkadang ia sulit tidur karena cuaca di Amerika yang terlalu dingin. Adik saya pun sudah menjadi pengacara yang sukses. Saya berkata akan mengunjungi mereka juga minggu depan.
Hati saya sedikit lega setelah menghubungi mereka. Sekarang sudah pukul 11 malam, 1 jam sebelum hari natal. Saya turun ke bawah dan berjalan keluar taman karena belum dapat tidur. Senandung lagu Christmas Carol terdengar dari dalam beberapa rumah. Sesampainya di taman, saya masih melihat ada anak-anak yang bermain bola. Tak lama bolanya pun terlempar ke jalan. Saya pun spontan mengambilnya, tetapi ada sinar yang sangat silau menyinari mata saya. Saya tak dapat melihat apa-apa. Gelap.
Ketika akhirnya saya bisa membuka mata kembali, saya melihat si Ibu pedagang kue yang tadi pagi anaknya pingsan. Dia berbicara dengan suaminya dan para tetangga bahwa untung ada saya yang menggantikan menjaga toko sehingga nyawa anaknya bisa cepat diselamatkan. Telat semenit saja, anaknya yang terkena penyakit ayan itu bisa meninggal seketika. Sejenak pandangan saya kabur lalu saya melihat si tuan rumah yang mengadakan pesta semalam. Seluruh keluarga itu tampak menangis namun tak lama kemudian tersenyum setelah mendengar pidato dari sang Ibu yang mengatakan bahwa betapa ia bersyukur saya membawakan kue ulang tahun untuk anaknya karena itu adalah kue pertama dan terakhir untuknya. Tak lama setelah perayaan ulang tahun, si anak tiba-tiba kejang dan ketika di bawa ke dokter nyawanya sudah tak terselamatkan. Keluarganya bersyukur karena sebelum anaknya meninggal, mereka bisa mengabulkan impian si anak untuk punya kue ulang tahun. Pandangan saya kabur lagi dan akhirnya saya melihat anak yang bermain bola di lorong rumah sakit. Ibu anak itu memeluk anaknya sambil menangis, tetapi bukan menangisi anaknya, melainkan menangisi wanita di kamar mayat.
Saya berjalan mendekat dan dengan shock saya melihat diri saya sendiri terbaring bersimbah darah. Ternyata ketika saya mengambil bola di jalan, secara tidak langsung saya telah menyelamatkan anak itu dari mobil truk yang melaju kencang. Tak lama kemudian saya mendengar lonceng berbunyi 12 kali, pertanda sudah jam 12 pagi, tepat pada hari natal. Matahari mulai bersinar, burung-burung berkicau dan ramai anak-anak kecil melompat kegirangan sambil membuka kado natal yg ada di ruang tamu mereka. Para penjaja makanan dan tetangga saling mengucapkan selamat natal. Di sisi dunia lain di New Zealand, sahabat dan mantan pacar saya tengah tersenyum memperhatikan anak-anak mereka membuka bungkus kado. Ayah saya di Amsterdam tengah menikmati sarapan dengan keluarganya, sementara Ibu dan adik saya sedang bersiap-siap untuk ke gereja.
Hal terakhir yang saya ingat adalah bahwa mereka semua tersenyum. Saya merasa sampai di sini misi hidup saya di dunia. Saya, Natalia, tepat berusia 31 tahun hari ini, si wanita dingin yang hampir tak pernah tersenyum, akhirnya bisa menebarkan senyum di kehidupan orang-orang di sekitarnya, termasuk orang yand disayanginya. Inilah moment terindah sepanjang hidup saya selama 31 tahun.
‘Salam Natal untuk semuanya. Semoga natal tahun ini membawa berkat dan kasih sayang untuk keluarga.’

0 komentar:

Post a Comment