Teman Baik yang Khianat

Muka-ku memerah,sedang marah besar. Rasanya kepala-ku mau pecah saat ini juga.

"Grrrrhhh!!!! Aku benci padamu, Bella!", gumam-ku dalam hati. Tiba-tiba Mariyah, Kakak-ku, datang. "Ada apa, Nisa?" Kamu kayak nya lagi marah,deh! Coba cerita sma kakak ada apa...", bujuk Kak Mariyah. "Ah,Kakak nggak perlu tahu! ini masalah-ku sendiri.", kata-ku dengan senyum di bibir. Padahal, saat itu aku masih ada rasa benci dengan Bella.

"Ayolah Nisa... Kamu dulu pernah bilang sendri,kan? Di keluarga kita ini nggak ada lagi yang nama nya rahasia-rahasiaan. Kita harus saling terbuka satu sama lain," kata Kak Mariyah. "Maafkan Nisa, ya,Kak.. Dulu, Memang Nisa pernah berkata seperti itu. Namun sekarang aturan itu sudah hilang. Nisa minta maaf.. Bangett.", kata-ku merahasiakan.

Kak Mariyah duduk disampingku, duduk diatas kasur. “Nisa, Kakak janji, kok, nggak akan ada yang tahu tentang ini. Dan Nisa tenang saja, karena Kakak nggak akan bocorin rahasia ini ke siapapun.”, kata Kak Mariyah. “Kakak janji?”, Kak Mariyah mengangguk. “Nggak akan beritahu ke siapapun termasuk ke Mama Papa?”, tanyaku. “Ok, rahasiamu aman ditanganku,”, kata Kak Mariyah.

Aku mengangguk mantap. Sebenarnya… aku tidak mau memberitahukan ke siapapun tentang ini. Tapi… aku sendiri sudah mengatakan bahwa di keluarga ini tidak ada lagi rahasia-rahasiaan. “Ok, Kak… Kakak janji, ya, jangan bilangin ke siapa-siapa.”, kataku. “Iya, bukannya kamu sudah bilang tadi?”, tanya Kak Mariyah.

“Cerita ini sangat mengharukan. Tadi, waktu aku istirahat di sekolah, aku menghampiri Bella, Lisa, Afifah, dan Detia. Saat itu Bella bertanya padaku; “Ibumu namanya Bu Syalabiyyah, kan?”. Lalu aku menjawab; “Kalau iya, memang kenapa?”. Tapi dia malah mengejek; “Syalabiyyah, kalau ditengah-tengah huruf a dan b ditambah huruf h jadi apa? Terus, huruf y itu dibuang. Jadi apa coba?”. Aku menjawab; “Salahbiyyah?”. Dia malah tambah mengejek; “Coba kata ‘biyyah’ nya kamu hapus.”. Aku lalu berseru marah; “Apa?! Kamu mengejek Mama-ku, ya?!”. Aku lalu pergi ke kantor, dan melaporkan kronologis itu pada Bu Ririn, begitu,”, uraiku sedih.

“Lalu, apa yang dikatakan Bu Ririn pada anak-anak nakal, itu?”, tanya Kak Mariyah, matanya memerah, seraya menahan tangis. “Anak-anak! Kalian harus meminta maaf pada Nisa. Dia kan, kasihan. Masa orangtuanya kalian ejek. Kalian harus tahu, mengejek orangtua teman itu sama saja mengejek orang tua sendiri.”, jelasku.

“Lalu?”, tanya Kak Mariyah. “Lalu mereka saling tunjuk, dan aku memberi tahu pada Bu Ririn, bahwa hanya Bella yang mengejek. Bella tertunduk, lalu meminta maaf.”, jelasku. “Apakah kamu memaafkan Bella? Aku ingin tahu jawabmu,”, ujar Kak Mariyah. “Tidak akan!”, seruku.

Keesokan harinya….

Saat istirahat tiba, aku tidak menghampiri teman baikku yang kini telah berubah, Bella. Namun, aku masih memiliki teman baik yang banyak. Dulu sih… Bella akrab sekali denganku. Atau bisa dibilang Bella dan aku adalah best friend atau nama lainnya sahabat sejati. Namun kini tidak lagi. Sekarang dia, best friend-ku itu telah menjadi bad friend, atau teman buruk. Ya… tidak sampai bad friend-lah. Paling hanya sebatas benci. Meski aku tahu dia hanya bercanda, tapi bercandanya itu sudah jauh diluar batas.

Aku menghampiri Ghiani dan Putri. “Ghiani, Putri, kita main, yuk!”, ajakku. “Aduh… sayang sekali, Nisa. Padahal kami mau mengajak Bella bermain.”, kata Ghiani. “Jangan cemas Ghiani… kita bisa mengajak Nisa bermain bersama dengan Bella bukan?”, kata Putri.

“Apa? Bella?! Aku bilang pada kalian ya…. Teman baikku itu….” “Sttt…. diam dulu, dia akan datang kesini. Lihat saja!”, sahut Ghiani. “Nisa, kita main, yuk!”, ajak Bella sambil menggandeng tanganku. “Sorry banget, Bel, aku mau…”, aku tak bisa melanjutkan kata-kataku.

“Aku kan sudah minta maaf sama kamu dengan kejadian kemarin. Kamu nggak memaafkan aku, ya?”, Bella menaikkan alisnya. “B-bukan begitu, Bella, aku hanya… Aku juga minta maaf, selama ini kita sudah menjadi best friend, tapi kini tidak lagi…”, kataku.

“Apa? K-kamu tidak memaafkan aku? Kita memang sudah menjadi best friend sedari dulu, Nisa. Aku kan sudah minta maaf. Tapi apakah kamu tidak mau memaafkan aku? Teman baikmu sendiri. Dan sekarang kamu sudah menganggapku sebagai bad friend? Begitu?”, ujar Morin dengan marah. Astaga! Aku tak menyangka kalau Bella tahu apa yang ada di pikiranku.

“Tidak sampai bad friend, Bella…”, kataku. “Lalu? Apa maksudmu melakukan semua ini?”, tanya Bella. “Aku sangat minta maaf Bella. Meski aku tahu kamu hanya bercanda, tapi bercanda-mu sudah diluar batas. Dan itu tidak baik,”, kataku, lalu pergi meninggalkan mereka bertiga.

Bella berusaha mengejarku. “Maafkan aku Nisa… Maafkan aku… Aku sungguh minta maaf padamu. Semua ini hanyalah bercanda. Maafkan aku kalau semua ini aku salah. Tapi jangan membenciku, Nisa… Aku juga tidak akan membencimu. Tapi aku mohon padamu untuk memaafkan aku. Semoga nasi belum menjadi bubur. Sungguh, aku minta maaf, Nisa…”, mata Bella memerah, seperti menahan tangis.

“Ok, aku akan maafkan kamu, tapi kamu harus berjanji tidak akan mengejek seperti itu lagi.”, Bella mengangguk, matanya kini berbinar-binar. “Seorang ibu adalah pahlawan terbesar untuk kita. Meski pahlawan RI memiliki jasa yang besar, tapi ibu-lah yang memiliki jasa paling besar.”, kataku. “Jadi… kamu memaafkan aku? Terima kasih banget, ya, Nis! Soalnya dosa mengejek orang tua itu sangatlah besar. Dan aku juga tahu, kalau arti dari Syalabiyyah itu adalah cantik, sama seperti ibumu. Ibumu juga cantik.”, puji Bella.

Akhirnya, aku dan Bella saling berpelukan. Dan mulai saat itu, kami menjadi teman baik lagi.